Kebijakan Mendikbud ‘Kampus Merdeka’ didukung atau dilarang?

FB Share

Januari 2020 mungkin menjadi awal yang baru bagi sistem pendidikan di negara kita. Diangkatnya Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kini membuat banyak perubahan yang besar. Adanya kebijakan Mendikbud ‘Kampus Merdeka’ akankah pendidikan Indonesia akan menjadi lebih baik? Atau justru sebaliknya?

Pasar bebas dan kapitalisme cukup membumbung tinggi bagi para pasukan kontra kebijakan Mendikbud ini. Namun sebelumnya, mari kita kupas tuntas dulu apa-apa saja kebijakan baru yang dikeluarkan Mendikbud dan membicarakannya satu persatu.

  1. Sistem akreditasi perguruan tinggi

Seperti yang dilansir dari kompas.com program re-akreditasi bersifat otomatis untuk seluruh peringkat dan bersifat sukarela bagi perguruan tinggi dan prodi yang sudah siap naik peringkat. Tentunya, perguruan tinggi tidak perlu untuk menunggu sampai lima tahun jika ingin memperbaharui akreditasi yang dimilikinya.

Nilai tambahnya bagi kampus adalah kampus dapat mempersiapkan semuanya secara lebih rinci. Hal-hal yang selama ini dikeluhkan oleh pihak civitas akademika kampus tentang rumitnya proses akreditasi tidak akan lagi kita (mahasiswa) dengarkan.

Kebijakan Mendikbud ini dapat membantu perguruan tinggi untuk menaikkan peringkatnya. Secara tidak langsung, mahasiswa juga akan turut senang. Akreditasi dan peringkat kampus juga akan dilihat ketika job interview bukan?

2. Hak belajar tiga semester di luar prodi

Poin kedua dari Kebijakan Mendikbud Kampus Merdeka adalah pemberian hak kepada mahasiswa untuk mengambil mata kuliah di luar prodi dan melakukan perubahan definisi Satuan Kredit Semester (SKS). Nantinya, setiap SKS diartikan sebagai ‘jam kegiatan’, bukan lagi ‘jam belajar’. Tidak melulu tentang belajar di kelas. Melainkan kegiatan lain seperti magang atau praktik kerja akan dihitung sebagai SKS!

Berdasarkan pengalaman yang saya dengar dari dosen saya ketika di kelas, sistem ini merupakan sistem yang baik untuk diterapkan. Mengapa? Ada cerita dari salah seorang kakak tingkat (kating) yang bermasalah ketika melakukan pekerjaan sebagai wartawan (ya, saya anak komunikasi). Karena tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang hal-hal berbau aktivitas vulkanik dari gunung, alhasil ia salah mengabarkan kepada pemirsa. Akibatnya ia harus mendapatkan skorsing dari pihak televisi untuk tidak bersiaran.

Belanja SKS, menurut saya, merupakan salah satu revolusi yang patut diterapkan. Bahkan beberapa perguruan tinggi sudah mulai menerapkannya. Belanja SKS mampu memberikan pengetahuan yang tidak melulu hanya menyangkut satu bidang saja, namun cover all side kalau istilah jurnalismenya (menyangkup semua dari berbagai pihak, tidak hanya satu).

3. Pembukaan prodi baru

Program Kampus Merdeka memberikan otonomi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Swasta (PTS) untuk melakukan pembukaan atau pendirian prodi baru. Meski demikian, otonomi hanya diberikan jika PTN dan PTS tersebut sudah memiliki akreditasi A dan B, dan telah melakukan kerja sama dengan organisasi dan atau Top 100 World Universities. Tidak berlaku bagi prodi pendidikan dan kesehatan.

Pembukaan prodi baru bagi ranah mahasiswa seperti kita, mungkin tidak berpengaruh secara langsung. Karena hal ini berkaitan dengan keputusan dan kesiapan yang dimiliki oleh pihak kampus. Mahasiswa biasanya mah manut-manut saja, asalkan haknya terjamin dan terpenuhi, iya kan? Mahasiswa tentu akan memberikan dukungan penuh selama apa yang dilakukan kampus tidak mengganggu apa yang menjadi hak-hak mahasiswanya.

4. Nadiem Makarim akan mempermudah PTN Badan Layanan Umum (BLU) untuk menjadi PTN Badan Hukum (BH)

Hingga saat ini, yang dapat menjadi PTN BH hanya perguruan tinggi berakreditasi A. Berdasarkan sumber dari tirto.id, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengatakan bahwa mempermudah kampus berbadan hukum dianggap sama saja memperluas praktik komersialisasi pendidikan. Hal itu dikarenakan, kampus-kampus PTN BH perlahan dicabut subsidinya oleh negara.

Fakta di Lapangan yang saya dapatkan:

Meski pemberitaan cukup banyak yang melihat berdasarkan sisi kontra. Bahkan meski kontra tersebut dilontarkan oleh beberapa pemantau pendidikan (Ubaid) dan Federasi Buruh Lintas Pabrik, Dian Septi Triasti. Dian menganggap bahwa sistem kerja magang tak ubahnya hanya perbudakan hanya dengan menyediakan tenaga kerja murah.

Namun, jika ditelisik secara lebih jauh, kebijakan Mendikbud ini tidak sepenuhnya menuai kontra. Mahasiswa, seperti saya, jujur menyetujui kebijakan ini secara lebih jauh. Hal itu tidak dapat dipungkiri bahwa mau tidak mau, pada kenyataannya kita memang harus dapat memenuhi kebutuhan pasar.

Jadi menurut saya, sah-sah saja, apalagi dengan ditambah belanja SKS yang dapat memberi kesempatan lebih jauh untuk mengenal pengetahuan secara lebih umum dan tidak selalu selini. Makin asik nih, kalo kata saya bersama teman-teman.

Berdasarkan survei kecil-kecilan yang saya lakukan, 5/5 teman saya menyetujui keputusan tersebut. Mengapa? Kegiatan di luar kelas, seperti magang, organisasi atau lainnya 80% lebih mengasyikkan dibandingkan harus mendengarkan dosen mengajar disertai buku-buku tebal.

Mempraktikkannya secara langsung, akan lebih berkesan daripada harus melek melihat layar LCD sambil sesekali menguap, iya kan? Selain itu, fakta menunjukkan bahwa manusia akan lebih mengerti mengenai materi yang dipelajari ketika ia mempraktekkan langsung.

Selain itu, kebijakan ini sejalan dengan visi misi Presiden Jokowi yaitu SDM Unggul. Indonesia untuk menjadi negara yang adidaya membutuhkan SDM yang unggul, yang siap kerja, menyongsong revolusi industri 4.0, dan membangun bangsa.

Meski begitu, saya tidak memungkiri bahwa hal itu mungkin saja akan dimanfaatkan oleh perusahaan terkait. Sehingga, perlu bagi Mendikbud untuk memberikan regulasi yang jelas disertai sanksi dan tindak hukum yang tegas. Jika memang memungkinkan, program ini tentu menjadi sistem pendidikan yang lebih seru.

Pengkajian ulang terkait dengan PTN BH harus dilakukan pengkajian ulang secara lebih menyeluruh. Kebijakan Mendikbud ini tidak serta-merta hanya memikirkan satu sisi mahasiswa yang mampu. Bidik misi juga perlu menjadi pertimbangan secara pasti apakah peralihan PTN BH akan berpengaruh secara signifikan.

Jika memang iya, tentu akan menjadi sebuah kelemahan yang patut disayangkan karena hal tersebut juga akan mengurangi potensi SDM bangsa kita.

Harapan saya, sederhana saja. Jika memang benar-benar diterapkan, maka pengkajian secara keseluruhan adalah hal yang patut untuk dipertimbangkan. Tahapan trial and error menjadi cara terbaik dalam mengaplikasikan kebijakan baru Mendikbud ini. Evaluasi, dan terus lakukan inovasi demi kemajuan dan kesejahteraan bangsa kita. Semangat Bapak Nadiem!

UPN "Kampus Merdeka" yay or no | UPNVY TALK | Gööp Web

Artikel yang berkaitan

Get Gööp app to engage with your community now!

Google Play LinkApp Store Link